“ABK Dek siap muka belakang, siapkan Kapal sandar kiri “. Lantang suara Nakhoda KM. Tidar mengumumkan tibanya kapal di pelabuhan kota pala (Fak-Fak).
Tiba dan menginjakkan kaki kembali di kota ini, membuat memori bernostalgia ke masa lalu saat pertama kali dakwah Hidayatullah masuk ke tanah Papua. Mulai dari kampus pesantren yang mau dibongkar dan dibakar hingga banyaknya santri-santri papua awal yang dikirim ke Gunung Tembak kala itu.
Semua hal ini membuatku berfikir dan merenung, apa yang membuat para petugas Hidayatullah awal yang dikirimkan ke sini mampu bertahan dan mewujudkan kampus yang cukup asri yang kemudian mampu melahirkan generasi luar biasa dan tersebar mulai dari barat hingga ujung timur Indonesia padahal lokasi kampusnya sendiri cukup menantang dan membuat orang biasa akan berfikir seribu kali untuk berada di lokasi tersebut dengan kondisi berada di lereng gunung dipenuhi bebatuan besar, tidak ada sumber air dan dikelilingi perkebunan pala.
Perjuangan awal perintisan kampus ini tentunya sangatlah berat. Bukan sekedar membangun saja akan tetapi karena harus menggali dan menghancurkan bebatuan guna meratakan tanah untuk dibangun. Belum lagi jarak yang cukup jauh dari pusat kota membuat aliran listrik ketika itu belum ada sehingga malam- malam harus dilalui ditengah kegelapan. Para santri awal terpaksa harus menggunakan pelita sebagai penerang ketika belajar.
Saat ini kampus pondok pesantren Hidayatullah Cabang Fak-Fak telah menjadi sebuah kampus yang asri dan indah dengan dipenuhi bangunan cukup padat. Ini semua tidak terlepas dari perjuangan awal para petugas Hidayatullah yang dikirimkan ke daerah ini. Keistiqomahan dalam membangun dan berdakwah serta rasa syukur mereka dalam menjalani hari-hari kehidupan dengan kondisi serba terbatas ternyata berbuah keindahan.
Allah swt berfirman dalam surah Fushilat ayat 30 :
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.
Firman Allah SWT di atas adalah merupakan jawaban atas keistiqomahan para pejuang dakwah Hidayatullah membangun kampus peradaban di kota Pala. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka kerjakan ketika itu pastia akan berbuah keindahan dan kebahagian kelak. Namun tidak cukup hanya sekedar istiqomah yang membuat mereka mampu bertahan. Ada hal lain yang harus dikembangsuburkan yaitu rasa syukur atas segala kondisi yang dijalani. Tidak mengeluh saat kekurangan makanan, tidak mengeluh ketika kegelapan, bahkan tidak merasa lelah ketika harus memikul air dari sungai dengan jalan menanjak untuk memenuhi bak masjid dan rumah warga.
Dengan rasa syukur yang senantiasa melandasi pola fikir para pejuang dakwah Hidayatullah inilah yang kemudian membuat mereka tidak berkeluh kesah dengan kondisi serba kekurangan. Tidak silau melihat orang lain bergelimangan harta. Selalu merasa cukup dengan apa yang Allah SWT berikan. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Ibrahim : 34
وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ( إبراهيم
“Dan Dia telah memberimu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat lalim dan banyak mengingkari (nikmat Allah).”
Dua senjata ampuh ini yaitu Istiqomah dan senantiasa bersyukur lah yang menjadi senjata pamungkas para assabiqunal awwalun perintis Hidayatullah Papua mampu mewujudkan kampus peradaban indah dan asri yang kelak Insya Allah akan menjadi tabungan terindah mereka di yaumil akhir kelak.
Tanamkan dan hujamkan jauh ke dalam hati kita dua prinsip ini, agar kelak apapun yang kita kerjakan berakhir dengan keindahan.
Author: Jamaludin Tafalas (Mahasiswa)